Catatan Ilham Bintang
(Leonews.co.id) – Kematian adalah hak manusia juga semua mahluk yang hidup di muka bumi ini. Ajal manusia akan sampai pada titik tertentu dan tak memandang usia muda atau pun sudah uzur.
Kematian itu bisa terjadi karena berbagai akibat. Bisa karena kecelakaan, sakit, factor usia dan banyak lagi sabab, yang membuat manusia meninggal dunia.
Berikut ini, adalah catatan wartawan senior Ilham Bintang, yang dikutip oleh beberapa media online, tentang surat wasiat penderita kanker, Shabrina Evaswantry Binti Novizar Swantry ( Nana), sebelum mengembuskan nafas terakhir Sabtu (8/6) pukul 00.10 di RS EKA, BSD, Tangerang Selatan, Banten.
“ For Everyone. PS : Sayang, tolong dibacakan setelah kuburku ditutup. Bacakan dengan ikhlas dan penuh syukur. Dont be sad,” itu tulisan pengantar dari surat “wasiat” almarhumah Shabrina Evaswantry Binti Novizar Swantry ( Nana) sebelum mengembuskan nafas terakhir Sabtu (8/6) pukul 00.10 di RS EKA, BSD, Tangerang Selatan, Banten.
Surat itu tidak mencantumkan kapan persisnya ditulis. Almarhumah dimakamkan Sabtu (8/6) siang di TPU Jelupang, Serpong Utara, Tangsel.
Sponsored
Sarjana desain lulusan Malaysia ini memang menderita kanker payudara stadium empat.
Meski demikian, kepergiannya yang begitu cepat dan dalam usia begitu muda tetap mengejutkan keluarga.
Apalagi ia baru saja melahirkan bayi berusia 2 bulan yang sangat membutuhkannya.
Selanjutnya, surat yang ditulis tangan itu dibuka dengan ucapan Assalamu’alakum.
“ Terima kasih bersama-sama sudah mengantarku ke level selanjutnya dalam semua hidup manusia. Don’t be sad. Jangan menangis yah karena Insya Allah aku kembali padaNya dengan bahagia. i’ ve been waiting for this the day since i was born, dan kita semua begitu”.
Nana menulis tiga surat wasiat. Dua ditulis tangan : untuk semua keluarga dan Didik suaminya. Sedangkan untuk ayah diketik dalam format notes ponsel.
Sang suami, Didik, yang diminta dalam surat itu untuk membacakan, tidak sanggup melaksanakan amanah isterinya.
Dia serahkan kepada Ihsan Cahaya Utama, kakak ipar tertua yang hadir pada tahlilan malam pertama.
Tangis keluarga pecah ketika satu- persatu surat itu dibacakan. Rasanya, mereka belum pernah punya pengalaman dalam keluarga yang wafat menulis surat menjelang hari- hari terakhirnya.
Apalagi, beberapa bulan terakhir Nana keluar masuk ruang ICU. Tapi yang paling mencengangkan tentu saja sikap kepasrahannya menghadapi ajal.
Dari kata-katanya, seperti kata “kubur ditutup”, “surga” dan “ bahagia” begitu ringan disampaikan. Nana seperti berdamai dengan maut.
Vonis kanker untuk Nana disampaikan dokter tahun 2017. Beberapa bulan setelah ia menikah.
Atau, seminggu sebelum ibunya, Evawaty Ningsih, meninggal akibat kanker sama.
Tapi vonis itu tidak meluluhkan impiannya untuk punya anak. Meski sempat keguguran dua kali.
Ia juga tak menanggapi saran dokter agar menunda kehamilan. Maksudnya supaya Nana bisa berkonsentrasi penuh untuk mengobati kanker lebih dulu.
Subhanallah. Maha Besar Allah SWT. Dia mengabulkan cita- cita Nana. Saat kanker stadium empat menggerogoti tubuhnya, Nana melahirkan bayi laki-laki, Adnan, dua bulan lalu.
Setelah melahirkan bayinya ia pun lanjut dirawat di RS yang sama untuk pengobatan kanker.
Nana lahir kembar. Saudari perempuannya, dokter Shabrila ( Lala) tengah hamil besar saat itu.
Adnan terpaksa “diasuh” sementara oleh tante Nana. Berkah Tuhan : kebutuhan ASI sang bayi cukup melimpah, ” dipasok” oleh beberapa donatur ASIP yang baik hati.
Menjelang lebaran, kesehatan Nana agak membaik. Dokter RS mengizinkan dia pulang.
Sekalian untuk merayakan Idul Fitri di rumah. Saat itu memang dia tunggu. Untuk melepas rindu bertemu Adnan yang dirawat di rumah tantenya.
Rumah mereka memang berjauhan. Tapi bukan itu yang menjadi penghalang Nana bertemu Adnan.
Melainkan kondisi Nana selama di rumah tidak memungkinkan. Ternyata ta ia masih sangat lemah.
Rabu ( 5/6) tengah malam Nana malah dilarikan ke RS dan dirawat di ruang ICU kembali karena kondisinya kritis.
Almarhumah Shabrina Evaswantry Alias Nana ( paling Kanan) usai melahirkan putranya.
Tantenya semula berencana mengantarkan Adnan untuk bertemu Nana, tapi urung dilaksanakan.
Terkait kondisi Nana yang kritis di ruang ICU dan pertimbangan kondisi rentan Adnan sendiri yang masih bayi.
Terhadap posisi Adnan, mendiang Nana menulis surat “ wasiat” begini.
“ Hi, suamiku, babanya Adnan yang terbaik . Pasti sulit rasanya membesarkan Adnan sendiri. Tapi percaya deh, nggak ada tempat terbaik untuk Adnan selain di dekat babanya. Di awal-awal akan banyak yang memberikan saran ini dan itu, dengarkan saja. Jikq nggak sesuai dengan pola asuh sayang, nggak usah diikuti. Jangan malu- malu untuk meminta bantuan yah. Mulai dari donasi ASIP ( air susu ibu perah). Sampai membersihkan popok/ memandikan sekalipun. Ingat anak kita bukan anak sapi. Jadi, semampu sayang untuk menyediakan asip yah… jangan lupa banyak membaca dan bertanya. Lala pasti bisa membantu selalu. Jika menurut sayang Adnan dan sayang lebih baik berdua saja di Bandung silahkan. You know what best for our son! Besarkan Adnan jadi ahli ibadah, ahli syukur dan ahli Al Quran. Itu saja pesanku. Love you forever,” tulis mendiang begitu ringan. Seolah hanya mau berangkat berumrah ke Tanah Suci.
Nana tiga bersaudara. Nana, Lala dan si bungsu Toriq. Pas lebaran Toriq telah kembali di Tanah Air setelah merampungkan studinya di Jerman. Ia pun dapat menyaksikan kepergian almarhumah.
Ketiga putera puteri ini lahir dari pasangan Ir Novizar Swantry dengan Evawaty Ningsih, MBA.
Evawaty adalah sepupu isteri saya. Tapi hubungan batin mereka lebih dari sekedar sepupu.
Waktu Eva muda, ia melanjutkan studi strata dua di Jakarta, dan tinggal di rumah keluarga isteri.
Jadi hubungan mereka amat dekat, layaknya bersaudara kandung. Waktu Lala menikah, saya diminta jadi saksi pernikahannya.
Kepada ayahnya, Novizar Swantry, almarhumah menulis begini.
“ Pa, Nana mau minta ampun atas segala hal yang Nana kerjakan tapi tidak Papa ridhoi. Terima kasih atas segala pengorbanan yang Papa sudah lakukan untuk kita, anak-anaknya sampai-sampai tidak bisa mendampingi isteri tercinta di hari akhir. Terima kasih Pa untuk semua beban yang Papa usahakan pikul sendiri. Mulai sekarang kita harus berbagi beban dan juga kasih. I love u always pa,,, u re may hero.”
Tidak terasa saya juga meneteskan aimata ketika membaca surat- surat wasiat Nana yang dishare di WAG keluarga.
Masih segar dalam ingatan ketika si kembar Lala dan Nana lahir.
Tentu saja dia jadi primadonna karena kembar pertama dan satu-satunya hingga kini di dalam keluarga besar isteri.
Tapi sampai sekarang saya masih sering keliru membedakan mana Lala yang mana Nana.
Waktu Nana kuliah di Kuala Lumpur, sekitar 2009, kami sempat mengunjungi dia di sana.
Dua malam di KL siang malam Nana mengawal kami, menyetiri sendiri mobilnya membawa kami berkeliling Ibu Kota negeri jiran itu. Beberapa kali saya membesoeknya saat dirawat di RS.
Saya dan isteri baru sehari tiba di Makassar Jumat (7/6) ketika Nana wafat . Kabar itu disampai lewat tengah malam tapi baru kami ketahui saat bangun untuk salat subuh, Sabtu (8/6) waktu Makassar.
Selasa ( 11/6) malam saya tiba kembali di Jakarta. Rabu ( 12/6) kami takziyah di rumah duka.
Bertemu Novizar, Didik, Lala, dan suaminya Asep, juga Toriq yang masih memendam duka.
Saya sekalian minta izin untuk mengutip cuplikan surat-surat wasiat dalam tulisan obituari Nana.
Tiada lagi Nana. Semoga almarhumah Husnul Khotimah. Semoga Allah SWT menyediakan tempat terbaik , yang lapang, nyaman, dan indah di sisiNya.
Dan bagi keluarga yang ditinggalkan khususnya Didik, suaminya, dan Adnan, sang bayi, diberi kekuatan, ketabahan, ketenangan jiwa, serta dipelihara keikhlasannya melepas Nana ke pangkuan Ilahi Rabbi.
Sesungguhnya, memang hanya Dia lah pemiliknya yang sah, seru sekalian alam. (*)
Ilham Bintang merupakan pengurus PWI Pusat dan juga pendiri infotaimen pertama di Indonesia Cek and Ricek (CR)