leonews.co.id
Headline

Wawasan Kebangsaan Harus Difahami Sebagai Bagian Dari Mencintai Negara

Share this article

Oleh : Amas Tadjuddin, Sekretaris PWNU Banten

SERANG (leonews.co.id) – Wawasan Kebangsaan ringkasnya harus difahami sebagai bagian dari totalitas mencintai negara, yang tentu saja di dalamnya terdapat beragam suku, bangsa, bahasa, adat istiadat, agama, sosial dan budaya, serta luasnya wilayah meliputi lautan daratan dan pulau- pulau sambung- menyambung menjadi satu, itulah Indonesia

Fakta tersebut diperlukan ada suatu alat penyambung dari sabang sampe merouke, sehingga warganya memiliki suatu pemahaman wawasan berfikir, sikap, tujuan dan tekad bersama, untuk dapat mempersatukan Indonesia mewujudkan indonesia bersatu.

Ajaran agama harus menjadi alat pemersatu (internal) umat beragama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan lantas ajaran agama dipersempit menjadi alat pemecah belah untuk saling meniadakan eksistensi keyakinan dan ajaran agama lainya.

“Indonesia bukan negara agama, dan Indonesia bukan negara sekuler, tetapi Indonesia juga bukan negara bukan bukan” demikian pernyataan almarhum KH Hasyim Muzadi (PBNU), yang esensinya beliau menurut kami hendak menegaskan bahwa Indonesia adalah mengakui agama agama, dan umatnya bebas melaksanakan peribadatan sesuai keyakinan agamanya, tanpa harus ada penyebutan negara berdasarkan agama tertentu, artinya nilai nilai agama terlaksana dalam perlindungan negara, sehingga negara terhindar dari sebutan negara sekuler.

Rumusan sederhana para pejuang pendiri negara (para ulama) menanamkan cinta tanah air menjadi pondasi utama bernegara “hubbul wathon minal iman” sangat populer dikalangan santri Nahdiyyin, turun temurun cinta tanah air diajarkan oleh para ulama NU sampai hari ini, politicall real.

Maka sehebat apapun (kompetensi) keilmuan seorang warga negara, tanpa disertai kecintaan kepada bangsa dan negaranya, sangat potensial (faktual) menimbulkan konflik dan perang senjata, mengerikan berkepanjangan antar saudara sendiri (perang timur tengah).

Terkini sangat heboh terdapat puluhan orang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk menjadi ASN di gedung merah putih kuningan, isunya sangat menyita perhatian dan pemberitaan berjilid-jilid.

Sementara disisi peristiwa lainya terdapat ribuan anak-anak bangsa dari berbagai keahlian juga tidak lulus tes ASN, diantaranya karena nilai tes wawasan kebangsaan (TWK) dibawah standar, mereka sabar, tidak bikin gaduh, padahal ketidak lulusan mereka atas TWK tersebut bukan karena isu pembangkangan kepada negara, hal ini sangat berbeda dengan isu yang ditenggarai beririsan dengan isu keraguan atas kesetiaanya kepada negara Pancasila.

Apakah karena orang itu memiliki kompentensi dan telah berjasa dibidangnya, tentu ribuan guru honorer berjasa puluhan tahun, tetap gagal TWK ya gagal menjadi ASN, mereka tidak reaktif, melainkan sabar dan akan mengulang pada kesempatan mendatang.

Lalu bagaimana pentingnya pancasila sebagai alat pemersatu bangsa perlu diperkuat secara kelembagaan sehingga dapat tersosialisasi secara cepat dan efektif kepada seluruh lapisan masyarakat

Kilas balik tahun 2020 pembahasan tentang pentingnya UU HIP kami
sampaikan dalam acara Diskusi Kelompok Terpumpun bertajuk “sinergitas akademisi dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat, dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila, di Hotel Horison Ultima Ratu (13-15 Juli 2020).

Tiga puluh hari terakhir juli 2020 adalah situasi gaduh semakin deras, tinggi, dan cenderung tidak terkendali, hal tersebut tercipta akibat maraknya isu tentang Haluan Idiologi Pancasila (HIP) dalam kemasan RUU yang menjadi hak inisiatif DPR RI.

Bahwa disebut inisiatif dewan sebagaimana diatur dalam UU MD3, berarti bahwa RUU HIP telah dirancang dan dibuat oleh dewan, mulai dari naskah akademik, sampai pada redaksi detailnya (drafting),pembahasan, penetapan, ditolak atau diteruskan, dilakukan oleh dewan, maknanya seluruh hal yang berkaitan dengan RUU HIP saat ini adalah masih urusan dewan dan telah terus dibahas oleh seluruh fraksi DPR RI yang merupakan bagian dari anggota partai politik, masih di gedung DPR belum sampai di meja pemerintah.

Pun demikian RUU HIP sejak awal pembahasan (lihat agenda rapat DPR RI) telah disetujui oleh seluruh partai politik untuk menjadi materi pokok masuk menjadi agenda prolegnas, lancar hampir tanpa kendala, disertai catatan beberapa partai politik, hanya catatan bukan menolak.

Sampai pada tahapan ini (disini) muncul protes dari berbagai kalangan masyarakat, ada yang ikhlas dan ada pula yang tidak ikhkas, juga beberapa tokoh refresentasi partai politik di DPR RI
sampai DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota rame-rame ikut menolak RUU HIP dengan berbagai alasan, ada yang terkesan cuci tangan, ada yang hanya mencari simpati masyarakat konstituen, dan tidak sedikit yang sudah terpapar propaganda virus berbahaya, bahwa RUU HIP adalah diposisikan dianggap simbol kebangkitan PKI.

Isu kebangkitan PKI inilah yang dihembuskan tiada henti (masif) ke semua penjuru kehidupan masyarakat, bahkan situasi pandemi Covid 19 pun dimanfaatkan menjadi lapak “jualan” laris manis untuk menyerang pemerintahan dan kebijakan-kebijakan strategis lainya, serta disebut dan dibumbui sebagai antek-antek PKI.

Reaksi dahsyat penolakan RUU HIP muncul juga dari ormas-ormas Islam seperti PBNU yang tampil penuh wibawa, membedah naskah RUU HIP dengan rincian dan solusi pasal per pasal.

Selanjutnya ormas PP Muhamadiyah dengan tokoh diantaranya Prof Din Syamsudin, sering kali sangat vulgar di media menyebut bahwa kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo telah terintervensi suatu kepentingan lain atau kepentingan asing yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Hal senada disampaikan Dewan Pimpinan Pusat MUI melalui maklumatnya yang terasa seperti “teriakan kampanye” partai politik, disertai ancaman-ancaman, sebagaimana beredar di hampir seluruh jejaring Media, bahwa MUI akan membentuk “Panglima Jihad”, jika RUU HIP tidak dihentikan Presiden.

Hal menarik adalah semua aspirasi telah direspon oleh fraksi-fraksi di DPR, isinya pernyataan bahwa pembahasan RUU HIP dihentikan, sampai disini jika tidak ada kepentingan tersembunyi seharusnya sudah selesai, sehingga penyampaian aspirasi melalui demo tidak di perlukan lagi.

Tetapi faktanya masih ada demo-demo, dan lucunya viral teriakan demonstran yang marah kepada Presiden, marah kepada Wakil Presiden, sampai dituntut mundur pula, inilah politicall bluff, yang dimaksud ternyata bukan saja RUU HIP yang jadi target, tapi Presiden yang ditarget untuk “dimakzulkan”, waspadalah.

Pembakaran salah satu simbol (bendera) partai politik pada saat demonstrasi adalah bagian dari political bluff yang seharusnya tidak perlu terjadi, yang hanya membuat masyarakat tambah resah dan gelisah, siapapun pelakunya didalamnya penuh intrik, tipu daya, adu domba, saling menyudutkan, cacian dan ujaran kebencian, yang semuanya tidak pantas dilakukan oleh siapapun orangnya, apapun agama dan aliran madzhabnya, walaupun sering kali teriak dan mengaku muslim, sama sekali tidak mewakili islam, karena islam tdak ada mengajarkan cara cara tidak baik tersebut.

Seseorang teriak bela Pancasila, hentikan RUU HIP, dalam demo ternyata tidak sedikit teridentifikasi orang dan organisasinya justeru anti Pancasila, sederhananya terbukti tidak mencantumkan Pancasila sebagai azas dalam ormasnya tetapi paling nyaring teriak RUU HIP sebagai kebangkitan PKI.

Bahwa Pancasila sebagaimana diputuskan oleh PBNU sebagai dasar NKRI dinyatakan sudah final bagi bangsa ini, artinya dilarang diganti atau dirubah dalam bentuk apapun.

tetapi bahwa harus ada suatu lembaga yang konsisten memikirkan dan bertanggung jawab agar Pancasila tidak bisa diutak-atik dan diganti, harus terus tersosialisasi kepada seluruh warga bangsa, maka lembaga tersebut harus ada dan diperkuat berdasarkan UU.

Sisi lainya, agar setiap ormas dan individu memiliki faham yang bertentangan dengan Pancasila, atau hendak menggantinya dengan idiologi lain, sekalipun bernarasi keagamaan, apapun agamanya harus ditindak tegas, dan melalui lembaga itulah gerbang utamanya untuk melakukan sterilisasi idiologi dimaksud.

Di sinilah pentingnya sinergitas akademisi sebagai kelompok intelektual “khoiru ummah” yang masih dipercaya publik sebagai orang “suci”, akademisi harus berfihak kepada kepentingan bangsa dan negara, bersinergi bersama komponen masyarakat lainya, bukan sebaliknya menjadi aktor intelektual kepentingan politik praktis yang terkadang sulit dimaknai sebagai “penolong” rakyat.

Oleh karena itu mengajak kepada seluruh komponen masyarakat baik yang suka demo dan yang sering didemo, untuk menjaga ketenangan hidup, kesehatan masyarakat, tercipta kedamaian dan keselamatan negara bangsa, yang saat ini sedang fokus pada upaya pencegahan Covid 19, agar mampu menahan diri, bersabar, tidak terprovokasi dan terjerumus pada pemikiran dan faham yang merugikan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat secara luas, faham radikal kiri, faham radikal kanan, dan faham radikal teroris adalah virus yang harus dihentikan sekarang juga.

Negara ini adalah negara hukum, siapapun harus tunduk dan patuh kepada aturan hukum, siapapun yang memiliki ambisi untuk menjadi pemimpin masa depan, ikuti aturan mainya, bukan lantas memprovokasi rakyat bahkan dengan menjual narasi narasi keagamaan untuk kepentingan pribadi dan koleganya.
tulisan singkat ini didedikasikan untuk menyambut Harlah Pancasila 1 Juni 2021, tentang pentingnya wawasan kebangsaan bagi seluruh masyarakat warga negara Republik Indonesia.

Serang, 31 Mei 2021


Share this article

Related posts