Love Scam, adalah modus kejahatan yang patut dipandang sebagai tindakan luar biasa dan perlu penaganan secara serius.
Biasanya yang dilakukan pelaku penipuan kepada korbannya dengan cara yang sangat halus kaena dibalut dengan bentuk rasa cinta.
Korban kejahatan love Scam, akan merasa jauh lebih kejam dibanding dengan dibunuh melalui kekerasan dan berdarah-darah.
Modus operandi kejahatan yang bernama “love Scam” ini, biasanya pelaku memanfaatkan platform digital untuk menjalin hubungan percintaan palsu dengan korbannya.
Modus penipuan yang dilakukan adalah berkenalan melalui media daring (online), bisa dari face book, instagram atau Whats App.
Untuk peristiwa kejahatan yang terjadi melalui platform media online, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, setidaknya pada tahun 2025, sebanyak 2.267 warga Indonesia telah menjadi korban penipuan online dalam berbagai bentuk, termasuk love scam.
Pihak penegak hukum menyebut, bahwa fenomena ini telah menimbulkan dampak psikologis dan finansial yang signifikan bagi korban, sehingga memerlukan perlindungan hukum yang komprehensif.
Baru-baru ini, Bareskrim Polri berhasil mengungkap tindak pidana penipuan online jaringan internasional dengan modus love scamming di sebuah apartemen di wilayah Jakarta Barat.
Dalam hal ini, Polisi berhasil mengamankan 19 orang WNI dan 2 orang WNA beserta barang bukti berupa 96 unit handphone dan 19 unit laptop berbagai merk.
Menurut keterangan polisi, saat menjalankan aksinya, para pelaku biasanya menggunakan profil perempuan dan laki-laki sebagai modus untuk memperdaya korbannya.
Dalam peristiwa love scam yang terjadi di Jakarta Barat, polisi mengatakan bahwa para pelaku berhasil menipu korban melalui aplikasi hingga meraup keuntungan mencapai Rp 54.000.000.000 per-bulan.
Dalam aksi Love scam ini, pelaku biasanya menyamar sebagai seseorang dengan profil menarik, seringkali menggunakan foto orang lain dan identitas palsu untuk menarik perhatian korban.
Setelah membangun kepercayaan dan hubungan emosional, pelaku akan mulai meminta bantuan finansial dengan berbagai alasan, seperti keadaan darurat, biaya pengobatan, atau kesulitan ekonomi.
Dikutip dari https://marinews.mahkamahagung.go.id
Beberapa ciri khas love scamming yang perlu diwaspadai antara lain:
- Pelaku cepat menyatakan cinta dan mendorong hubungan menjadi serius dalam waktu singkat
- Pelaku menghindari panggilan video atau tatap muka langsung dengan berbagai alasan
- Pelaku sering meminta uang dengan alasan yang mendesak dan menyentuh secara emosional
- Pelaku menggunakan cerita sedih atau tragedi untuk menarik simpati korban
- Pelaku meminta korban untuk menjaga rahasia hubungan mereka dari keluarga atau teman (Erafone, 2025);
Dampak love scam bagi korban sangat multifaset. Selain kerugian finansial yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, korban juga mengalami trauma psikologis berupa depresi, kecemasan, kehilangan kepercayaan pada orang lain, dan dalam kasus ekstrem dapat menyebabkan bunuh diri.
Studi menunjukkan bahwa korban love scam sering mengalami stres pascatrauma (PTSD) yang memerlukan intervensi psikologis jangka panjang (KemenPPPA, n.d.).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 dapat menjadi kerangka hukum penting dalam melindungi korban love scam, didalamnya menyediakan kerangka hukum yang dapat digunakan untuk melindungi korban love scam, terutama dalam kasus yang melibatkan eksploitasi emosional atau manipulasi psikologis yang berujung pada kekerasan seksual digital.
UU TPKS mengenal beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang relevan dengan kasus love scam:
Kekerasan Seksual Psikis: Termasuk ancaman, intimidasi, atau tekanan psikologis yang dilakukan dalam konteks seksual.
Eksploitasi Seksual: Termasuk memanfaatkan kondisi rentan korban untuk memperoleh keuntungan seksual atau finansial.
Kekerasan Seksual Berbasis Media Elektronik: Termasuk penyebaran konten seksual tanpa persetujuan atau pemerasan dengan ancaman penyebaran konten tersebut.
Dalam kasus love scam, seringkali pelaku melakukan manipulasi psikologis yang intensif untuk membuat korban tergantung secara emosional, yang kemudian dimanfaatkan untuk meminta uang atau bahkan konten seksual.
Ketika korban menolak, pelaku dapat melakukan ancaman atau intimidasi yang masuk dalam kategori kekerasan seksual psikis menurut UU TPKS.
Hak-hak Korban Menurut Hukum Nasional
Korban love scam memiliki beberapa hak hukum yang dapat ditegakkan melalui mekanisme yang tersedia dalam sistem hukum Indonesia:
- Hak untuk Melapor: Korban berhak melaporkan kasus penipuan kepada aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan.
- Hak atas Perlindungan: Korban berhak mendapatkan perlindungan fisik, psikis, dan hukum dari pihak berwenang.
- Hak atas Restitusi: Korban berhak mendapatkan pengembalian kerugian finansial yang diderita akibat tindakan penipuan.
- Hak atas Bantuan Hukum: Korban berhak mendapatkan bantuan hukum, baik melalui advokat maupun lembaga bantuan hukum yang disediakan negara.
- Hak untuk Menyembunyikan Identitas: Dalam kasus tertentu, korban berhak meminta identitasnya dirahasiakan untuk melindungi privasi dan mencegah stigmatisasi.
Peran Lembaga Perlindungan
Beberapa lembaga memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan bagi korban love scam:
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK): LPSK dapat memberikan perlindungan fisik, psikis, dan bantuan hukum bagi korban kejahatan, termasuk love scam.
- Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan): Khusus untuk korban perempuan, Komnas Perempuan dapat memberikan pendampingan dan advokasi.
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA): Memberikan layanan konseling dan rehabilitasi bagi korban, terutama perempuan dan anak.
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Memberikan edukasi dan peringatan kepada masyarakat tentang modus penipuan keuangan, termasuk love scam (OJK, 2025).
Studi Kasus dan Penanganan
Kasus penangkapan sindikat “cinta palsu” di Bali pada Juni 2025 menjadi contoh nyata bagaimana aparat penegak hukum Indonesia mulai serius menangani kasus love scam.
Sindikat ini berhasil membobol dana puluhan korban dengan total kerugian mencapai miliaran rupiah. Modus operandi mereka dengan menyamar sebagai pekerja migas atau wiraswasta sukses di platform kencan online, kemudian membangun hubungan emosional dengan korban sebelum akhirnya meminta sejumlah uang dengan alasan investasi atau keadaan darurat (DW, 2025).
Penanganan kasus ini melibatkan koordinasi antara Polda Bali, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, serta OJK untuk pemblokiran rekening yang digunakan sindikat.
Para korban juga mendapatkan pendampingan dari LPSK dan Psikolog Kepolisian untuk pemulihan trauma.
Analisa dalam artikel ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap love scam memerlukan pendekatan multidimensi yang tidak hanya fokus pada aspek pidana, tetapi juga pada perlindungan dan pemulihan korban.
Selain itu, diperlukan kerja sama internasional karena banyak pelaku love scam yang beroperasi lintas negara.
Tantangan dalam Perlindungan Korban Love Scam
Beberapa tantangan utama dalam memberikan perlindungan efektif bagi korban love scam antara lain:
- Tantangan Pembuktian Hukum: Sulitnya membuktikan unsur penipuan karena hubungan yang dibangun bersifat sukarela dan bukan eksploitatif secara langsung.
- Lintas Yurisdiksi: Banyak pelaku love scam yang beroperasi dari luar negeri, sehingga penegakan hukum menjadi kompleks.
- Kurangnya Kesadaran Hukum: Banyak korban yang tidak mengetahui hak-hak hukumnya atau enggan melapor karena rasa malu.
- Keterbatasan Regulasi: Regulasi yang ada belum secara spesifik mengatur tentang perlindungan korban love scam.
- Dampak Psikologis: Trauma psikologis yang dialami korban seringkali menghambat proses pemulihan dan penegakan hukum.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan tantangan di atas, berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan perlindungan korban love scam:
- Harmonisasi Regulasi: Mengintegrasikan ketentuan dalam UUPK, UU TPKS, dan UU ITE untuk menciptakan kerangka hukum yang komprehensif dalam melindungi korban love scam.
- Pembentukan Satgas Khusus: Membentuk satuan tugas khusus yang terdiri dari aparat penegak hukum, ahli psikologi, dan lembaga perlindungan korban untuk menangani kasus love scam secara terkoordinasi.
- Peningkatan Kapasitas Aparat: Memberikan pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum tentang penanganan kasus love scam, termasuk aspek psikologis korban.
- Kerjasama Internasional: Memperkuat kerjasama dengan negara lain dalam penegakan hukum terhadap pelaku love scam lintas negara.
- Edukasi dan Literasi Digital: Meningkatkan literasi digital masyarakat, khususnya tentang modus love scam dan cara melindungi diri.
- Penguatan Peran Platform Digital: Mewajibkan platform kencan online untuk menyediakan mekanisme pelaporan dan verifikasi pengguna yang lebih ketat (ResearchGate, n.d.).
Penutup
Perlindungan korban love scam di Indonesia memerlukan pendekatan hukum yang komprehensif dan multidimensi.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang TPKS menyediakan kerangka hukum yang relevan, namun perlu diintegrasikan dengan UU ITE serta regulasi lainnya untuk menciptakan sistem perlindungan yang efektif.
Tantangan utama dalam perlindungan korban love scam tidak hanya terletak pada aspek hukum, tetapi juga pada aspek psikologis, teknologi, dan lintas yurisdiksi. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antar sektor dan stakeholder untuk memberikan perlindungan holistik bagi korban.
Peningkatan literasi digital, penguatan regulasi, serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum menjadi kunci dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus love scam di Indonesia.
Hanya dengan pendekatan komprehensif ini, korban love scam dapat memperoleh keadilan dan pemulihan secara menyeluruh. (***/Red 01)

