leonews.co.id
Parlementaria

Pembentukan Jubir DPRD Disorot: Tak Ada Dasar Hukum, Pengamat Sebut Sebagai Deviasi Etika Kekuasaan

Share this article

SERANG (leonews.co.id) – Kontroversi pembentukan Juru Bicara DPRD Kabupaten Serang menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Kini pengamat politik yang juga akademisi politik Universitas Mathla’ul Anwar, Eko Supriatno, turut menyorot langkah tersebut sebagai tindakan “mengaburkan struktur dan merusak etika kelembagaan”.

Eko menegaskan, dalam perspektif konstitusional, jabatan Jubir DPRD tidak dikenal dalam kerangka peraturan perundang-undangan.

“Tidak ada nomenklatur Jubir DPRD dalam UU 23/2014, tidak ada di PP 12/2018, dan tidak ada di Tatib internal DPRD. Artinya jabatan itu bukan entitas resmi, melainkan hanya kesepakatan politik internal yang tidak punya kekuatan normatif,” ujarnya.

Menurutnya, absennya dasar hukum menjadikan posisi tersebut rawan dipersoalkan secara kelembagaan dan berpotensi menimbulkan tafsir negatif di tengah publik.

“Yang diputuskan lewat kesepakatan politik internal bukan berarti otomatis sah secara etik dan legitimasi publik. Politik bukan hanya soal bisa atau tidaknya, tapi pantas atau tidaknya,” tegasnya.

Lebih jauh, Eko melihat pembentukan Jubir DPRD justru merupakan sinyal adanya problem internal yang lebih serius.

“Jabatan semacam ini biasanya muncul ketika kelembagaan sedang kehilangan soliditas atau legitimasi. Personalitas dijadikan ‘wajah lembaga’ ketika suara kolektif macet. Ini indikasi alarm disharmoni sekaligus krisis kepercayaan,” jelasnya.

Secara etis, menurut Eko, ide Jubir DPRD berada pada wilayah abu-abu: bisa dibaca sebagai inovasi komunikasi, namun sekaligus dapat dikategorikan sebagai deviasi etika representasi.

“DPRD bukan perusahaan yang butuh PR Officer. Setiap anggota DPRD memiliki hak bicara dan imunitas politik. Jika ‘suara’ DPRD dipersonalisasi, itu sama saja mencekik hak representasi yang dijamin sistem,” katanya.

Eko menilai solusi bukan dengan membuat jabatan baru, melainkan memperkuat mekanisme yang sudah ada.

“Kalau DPRD ingin diperbaiki komunikasinya, maksimalkan saja alat kelengkapan lembaga: Komisi-komisi, Badan Kehormatan, dan Humas Setwan. Jangan bikin nomenklatur baru yang secara hukum tak berdiri dan secara etis menimbulkan kecurigaan,” pungkasnya.

Ia menutup dengan peringatan keras: “Dalam politik, kesalahan terletak bukan pada siapa yang berbicara, tetapi pada ketika hak berbicara dirampas. Lembaga perwakilan bukan butuh juru bicara — yang dibutuhkan justru juru dengar.” (Red02)


Share this article

Related posts