leonews.co.id
Berita Pilihan

Ormas Islam Ikuti Seminar Literasi Media

Share this article

TANGSEL, ( leonews.co.id ) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tangsel menggelar seminar tentang “Literasi Media Bagi Ormas Islam” dihadiri 60 peserta, berlangsung pada Kamis 14 November 2019 di Remaja Kuring, Serpong, Tangsel. Ormas Islam wajib melek media agar tidak terkecoh dengan berita hoaks.

Kepala Kemenag Kota Tangsel Abdul Rojak mengapresiasi dan memberikan penghargaan kepada MUI yang menyelenggarakan melalui Komisi Informatika dan Komunikasi dalam upaya menyikapi media sosial dan dampaknya begitu masif, di tengah masyarakat. Ektremis yang muncul dipermukaan salah satu faktor munculnya media sosial.

“Termasuk perang fatwa. Oleh karena itu, pentingnya bagaimana bersikap dan menyikapi semua informasi yang ada di media sosial bagaimana ormas Islam. Termasuk politik jangan sampai menjadi biang kerok dengan berbagai dalih agama. Ini tentang bagaimana harus bersikap,” katanya, di dampingi Moderator Taufiq Setyaudin.

Ketua MUI Tangsel Kh Saidih menyampaikan berkaitan dengan masa media, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an kalau datang orang fasik membawa berita harus tabayun terlebih dulu. Jangan ditelan mentah-mentah. Berita yang tidak diketahui sumbernya mengakibatkan akibatnya keresahan.

“Bahasa keadaan lebih faseh dengan ucapan. Kadang ucapan dengan kenyataan berlainan,” ujarnya saat membuka seminar.

Dosen Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto menyampaikan materi tentang “Literasi Media: Perspektif Komunikasi Politik” yang mana dirinya telah berkecimpung selama 19 tahun tentang komunikasi politik. Dengan mempelajari komunikasi politik,  dapat membaca realitas sosial lebih ajeg.

“Era di mana kita ada di online. Era ini lahir sejak 1980, yang disebut sebagai era keberlimpahan komunikasi.  Perbedaan antara media mainstream (koran, radio televisi) dengan media sosial (facebook, IG dan lain-lain). Media sosial sifatnya bisa memproduksi dan konsumsi informasi. Misalnya membuat status dan mendistribusikan melalui media sosial. Berbeda dengan media mainstrem dalam menyebarluaskan informasi harus melalui redaktur atau produser,” jelasnya.

Media itu sebagai alat. Banyak ekses negatif tapi kalau tidak  dimasuki tidak bisa menebar hal positif. Hal yang perlu dicermati sebagai salah satu jangkar penting yaitu kalangan akademisi dan ulama. Keduanya memiliki otoritas dalam menyampaikan kebenaran pada khalayak ramai dan orang akan mengikutinya.

Masyarakat juga diharapkan memiliki prinsip untuk menghindari, pertama distorsi informasi sehingga tidak ajeg, kedua dramatisasi fakta palsu, ketiga menganggu privacy, keempat pembunuhan karakter, kelima eksploitasi seks, meracuni pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan.

“Hoaks biasanya susunan 5W 1H tidak baku. Ini bukan soal kecerdasan tapi soal sikap. Jika infomasi itu jelas-jelas salah lalu kita sebarkan maka kita menyebar Kebatilan. Maka sangat dibutuhkan tentang literasi literasi media meliputi pengetahuan, skill dan sikap,”tambah ia.

Hoaks paling sering diterima sosial politik 91, persen, kedua sara 88 persen, kesehatan 41 persen. Dampak radikalisme karena riset terakhir 60 persen lebih, orang belajar agama di internet. Bukan lagi kepada ulama. Mereka lebih suka pada belajar artifisial yang hanya permukaan bukan mendalam. “Maka orientasi beralih dari ulama kepada internet,” tambah ia .

Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany menyampaikan dampak dari media sosial, berlangsungnya Pilpres beberapa bulan lalu membuat bangsa terpecah. Sadar atau tidak sadar media sosial sangat berpengaruh. Framing dalam otak setiap orang berbeda-beda.

“Almadulillah sekarang sudah mulai reda. Bahwa kita hidup dengan masa dan zamannya masing-masing terpenting bagaimana kita bersikap dan berhati-hati menggunakan jempol masing-masing,” tambah ia

Uten Sutendy sebagai praktisi mengangkat tema “Agenda Literasi Islam”. Ia menjelaskan dengan berbagai problema tantangan, maka ke depan harus ada langkah-langkah strategis sebagai berikut pertama, menguatkan mindset, paradigma, bahwa literasi adalah alat perjuangan untuk membenahi kehidupan dakwah.

Kedua, merumuskan “the new value of Islam” dalam menghadapi era milenial saat ini. Bahwa tugas umat berdakwah bukan hanya untuk komunitas muslim saja, terapi juga untuk umat manusia lain Rahmatan Lil Al-Amin, karenanya perlu ada  konfromi nilai dalam membuat strategi perjuangan. Misalnya, yang perlu dikedepankan adalah value, content bukan lagi semata identitas.

Ketiga meningkatkan kemampuan life skill di bidang literasi (creative writing, public speaking, film, dan seni budaya). Keempat,  meningkatkan kemampuan dan visi entrepreneur dengan mengembangkan  manajemen bisnis di bidang literasi hingga bisa bersaing dan piawai dalam mensiasati perkembangan era masa kini.

Kelima, memaksimalkan kemampuan literasi dengan memanfaatkan ketersediaan jaringan media cyber sebgai alat perjuangan. Maka para aktivis Ormas Islam wajib menjadi pasukan cyber,  cyber army (pasukan cyber) di bidang literasi.

Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hasanudin Ibnu Hibban, menjelaskan kemudahan akses informasi membawa dampak kehidupan manusia. Termasuk pada Ormas Islam kemudian muncullah berbagai sikap manusia dengan apatis, akibat tergiring opini tertentu.

“Sehingga resah dengan pemberitaan yang belum jelas kebenarannya. Atau sikap kritis analitis dalam menanggapi berbagai pemberitaan di media,” ujarnya.

Literasi media menurut al Quran sedikitnya ada 6 ayat yaitu Al Imran/3 ayat 44, surat Al Hujurat/49 ayat 6 serta surat  Al-Isra/17 ayat 36 serta surat Al Maidah/5 ayat 41 serta surat al Ahzab/33 ayat 70 dan surat Qaf/50 ayat 18. (HUMAS/Dina)


Share this article

Related posts