leonews.co.id
Berita Pilihan

Kemarau Mengakibatkan Biaya Hidup Tinggi

Share this article

SERANG (Gerbang Banten) – Kemarau panjang di Banten mengakibatkan kelangkaan air bersih dan ancaman gagal panen bagi petani. Meski peristiwa kemarau panjang selalu berulang setiap tahun, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah belum menemukan solusi yang tepat untuk mengantisipasi fenoma alam tersebut.

Kemarau itu lebih dirasakan daerah-daerah yang berada di sebelah utara, terutama daerah pantai. Banten memiliki panjang pantai 517 kilometer (KM) yang membentang dari Kabupaten Tangerang, Cilegon, Pandeglang dan Lebak yang disebut sebagai daerah persisir.

Sumber penghasilan warga di daerah itu, sebagian besar sebagai petani dan nelayan. Sejumlah dari mereka, merupakan juga buruh tani (bertani dilahan milik orang lain sebagai tenaga upahan-Red).

Di Kabupaten Serang salah satu daerah di Provinsi Banten, masyarakatnya tinggal di wilayah pesisir. Ada yang berdomisili di Kecamatan Tanara, Pontang, Tirtayasa, Binuang dan Kecamatan Lebak Wangi.

Pada musim kemarau, biaya hidup di daerah persisir naik secara drastis. Kenaikan biaya hidup ini diantaranya akibat kurang tersedianya air bersih dan terpaksa membeli air  isi ulang dalam galon.

Satu galon yang berisi 19 liter air itu dihargakan Rp7.000-Rp10.000. Harga air isi ulang ini sama dengan satu liter beras yang biasa dikonsumsi sehari-hari.

Air isi ulang yang dipasok dari daerah lain tersebut, digunakan warga untuk memasak dan air minum. “Saya menggunakan air tiga sampai empat gallon setiap hari, tidak termasuk untuk mandi,”  ujar Achmad, warga Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang yang berprofesi sebagai buruh tani menggarap petak sawah milik orang lain.

Menurutnya, bagi warga yang sedikit mampu secara ekonomi, bisa jadi menggunakan air sebanyak 10 hingga 15 galon perhari, karena mereka juga menggunakannya untuk mandi selain kebutuhan masak memasak. Sementara bagi masyarakat yang kurang berpunya, mandi setiap hari merupakan pemborosan.

Dari pengakuan Achmad, berarti warga rata-rata bertambah biaya hidupnya saat musim kemarau, yaitu Rp28.000-Rp40.000/hari untuk 4 galon air isi ulang yang digunakan hanya untuk memasak dan minum. Jika air isi ulang itu digunakan juga untuk mandi, maka warga di pesisir bertambah biaya hidupnya Rp70.000-Rp150.000 per hari.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Banten menyebutkan, setidaknya terdapat 50 kecamatan di empat kabupaten di Provinsi Banten sudah mengalami kekeringan akibat kemarau panjang tersebut. Wilayah itu, masing-masing di sebagian Kabupaten Pandeglang, Lebak dan Kabupaten Tangerang.

Kemarau juga tidak saja mengakibatkan biaya hidup semakin memberatkan 69.762 jiwa warga masyarakat terdampak kekeringan di Kabupaten Serang, tapi juga mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat petani. Sebanyak  15.000 hektare lahan persawahan yang diharapkan sebelumnya menjadi pemasok beras ke wilayah lain dari Banten, tapi justru gagal panen akibat puso.

“Kalau musim kemarau, ya seperti biasa terjadi kekeringan. Namun kemarau tahun ini memang lebih kering dibandingkan tahun sebelumnya,” kata Agus Tauchid, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten, seperti yang diberitakan Republika.

Agus menjelaskan, untuk mengatasi kondisi pertanian di wilayah itu, Pemerintah Provunsi Banten membuat sumur pantek (sumur bor-Red) di beberapa titik. Kemudian mobilisasi pompa dengan selang hisapnya dan mengoptimalkan pompa yang ada di kabupaten/kota.

Agus menjelaskan, bagi petani  yang lahan sawahnya terkena puso, pemerintah akan mengganti benih yang diperoleh secara gratis. “Sekarang dan ke depan tolong para petani harus mau masuk menjadi anggota asuransi usaha tanaman padi, karena itu bayar premi murah hanya Rp 36 ribu per hektare per musim, ” katanya.

Dia menyebutkan, hari tanpa hujan (HTH) yang melanda Provinsi Banten tersebut,  terjadi sejak memasuki bulan Juni 2019.  Akibatnya areal persawahan yang rata-rata tadah hujan dan mengandalkan  air dari saluran irigasi seluas 9.843 hektare tersebut,  mengalami puso.

Data per 2 Juli 2019, kata Agus, jumlah total luas lahan sawah di Banten yang terdampak kekeringan sebanyak 9.843 hektare. Kabupaten Pandeglang merupakan daerah terluas terkena dampak kekeringan ini.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan kekeringan ini akan masih berlanjut hingga akhir Oktober 2019. “Wilayah Provinsi Banten akan memasuki puncak musim kemarau selama 60 hari kedepan.

“Kepala Seksi Observasi dan Informasi pada Stasiun Klimatologi Tangerang Selatan Yanuar Hendri, pada situs resmi BMKG yang di unggah Rabu (21/8/2019)  menjelaskan, untuk wilayah Banten hujan paling cepat akan terjadi di akhir Oktober 2019.  “Musim kemarau juga engakibatkan menumpuknya polusi di udara yang di akibatkan cerobong knalpot kendaraan dan industri,”  katanya.

Sementara itu, Darmawan Hadiguna, pengamat sosial mengatakan, musim kekeringan akbat kemarau panjang bukan kali ini saja terjadi. Kekeringan air tidak saja berdampak kepada meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat, tapi juga bertdampak terganggunya persediaan beras sebagai bahan pokok rakyat Indonesia, karena gagal panen.

Pemerintah, yang ditugaskan sebagai pengelola Negara khususnya di bidang pertanian belum menemukan formula untuk melakukan perbaikan system mengelola air yang tepat. Padahal sebelum kemarau dan kekeringan terjadi, alam semesta terlebih dulu sudah mengawalinya dengan musim penghujan,  bahkan di sejumlah daerah juga mengalami banjir yang mengakibatkan kerugian.

“Kalau saja pemerintah mau mengelola air secara baik pada musim penghujan  dengan membuat waduk-waduk  besar di berbagai areal pertanian, maka air hujan dari hulu sungai gak mungkin semuanya lari ke laut dan mubazir,” katanya.

Darma menyebutkan,  khusus di wilayah Provinsi Banten terdapat sejumlah sungai besar yang bisa dikelola untuk kepentingan pertanian dan kebutuhan masyarakat. Sungai- sungai dimaksud,  masing-masing Sungai Cibaliung,  Cisawarna, Sungai Ciliman, Cibungur, Sungai Cidanau,  Ciujung, Cidurian, Ciliwung dan Sungai  Cisadane.

Dalam catatan leonews.co.id, sejumlah sungai tersebut, setiap musim penghujan sering meluap hingga mengakibatkan banjir yang melanda persawahan dan pemukkiman. Tiga sungai masing-masing, Cibaliung, Cisawarna dan Ciliman di Kabupaten Pandeglang setiap tahun tercatat sebagai langganan banjir.

Menurut Darmawan, kalau saja pemerintah mau, pembuatan waduk tidak saja dapat membuat persediaan air tercukupi bagi pertanian dan kebutuhan air bersih bagi masyarakat– tapi juga dapat menanggulangi banjir yang kerap melanda lahan persawahan bahkan pemukiman warga. Waduk yang terjaga dengan perawatan yang baik, juga dapat difungsikan sebagai peningkatan gizi masyarakat melalui persediaan ikan tawar yang dapat dikembang biakan di waduk tersebut.

Tidak hanya itu kata Darmawa, waduk yang terawat, juga bisa dijadikan tempat wisata sebagai sumber pendapatan daerah. Kerjasama bisa dilakukan dengan  pihak suasta atau dikelola sendiri oleh pemerintah. “Andai ini menjadi salah satu tambahan ide program pembangunan Bapak Presiden Jokowidodo, wachh…sangat luar biasa,” tuturnya.

Karena ide ini–lanjut Darmawan, banyak dampaknya.   Pertama mensejahtrakan masyarakat petani, mengantisipasi kerawanan persediaan beras nasional, Indonesia bisa sebagai  pengekspor beras ke Negara Lain dan tempat wisata danau, serta ketersediaan ikan air tawar. (Wisnu Bangun)


Share this article

Related posts