leonews.co.id
Berita Pilihan

10 Bulan Terbaring Tanpa Diobati, Karena Tak Punya Biaya

Share this article

KOTA SERANG (leonews.co.id) – Sudah hampir sepuluh bulan perempuan yang akrab dipanggil “Mak Eep” itu, terbaring sakit di atas kasur kapuk,  dibungkus sprey batik warna coklat lusuh di rumahnya, di Lingkungan Kalak RT 03/001, Kelurahan Lebak Wangi, Kecamatan Walantaka, Kota Serang-Provinsi Banten. Kasur tipis yang di letakan di lantai semen dengan alas tikar, di situlah Dia– terbaring menatap genting–menghabiskan waktu dan menunggu keajaiban.

Peristiwa berawal saat tragedy tsunami yang melanda kawasan wisata Anyer hingga pantai Tanjung Lesung dan sebagian wilayah perairan Provinsi Lampung, pada 23 Desember 2018 hampir tengah malam. Saat itu cucunya mendapat kabar dari salah satu anggota keluarga melalui telpon seluler yang bekerja di salah satu kawasan industry di Kabupaten Serang, bahwa akan ada tsunami melanda seluruh wilayah Provinsi Banten.

“Cucu tergopoh-gopoh membangunkan saya dan suami agar tidak tidur karena akan ada tsunami. Karena panik, saya berusaha secepat mungkin untuk bangun, tapi pandangan terasa gelap namun tidak sampai jatuh,” kata ibu dari empat orang anak, dua perempuan dan dua laki-laki semuanya sudah berkeluarga itu.

 

Beberapa saat setelah itu, tutur Mak Eep, dicobanya untuk berbaring dan saat berusaha akan bangun tak kuat lagi. “Iyeu ku naon iyeu Din…?,” kata Mak Eep, kepada salah seorang cucunya dalam dialek bahasa Sunda.

Atas peristiwa itu, Mak Eep terpaksa harus dirawat inap selama beberapa hari di Rumah Sakit Hermina, Kota Serang. Namun akhirnya dibawa lagi pulang ke rumah, karena menyangkut biaya pengobatan.

Dua anaknya bekerja sebagai buruh pabrik, satu laki-laki menganggur dan satu perempuan lagi sudah berkeluarga menikah dengan pekerja buruh bangunan. “Bukan Cuma biaya pengobatan di rumah sakit, tapi juga soal siapa saja yang harus menunggu di sana. Karena semuanya bekerja untuk hidup hari-hari,” kata salah seorang anggota keluarga.

Siang itu 14 Agustus 2019, dua kaki dan satu tangannya sebelah kiri masih tak dapat digerakan secara leluasa. Tangannya sebelah kanan memegang tasbih dan terus berbaring tanpa gerak tubuh.

Sepanjang waktu, Dia–terus berdoa agar ada  keajaiban dari Allah bagi kesembuhan penyakitnya. Saat waktu azan tiba, Mak Eep tetap melakukan sholat dengan cara sebisanya di tempat berbaring.

“Sekarang badan sudah bisa digerakan miring sedikit. Tapi nggak bisa terlalu lama,” katanya, yang mengaku sudah pasrah atas keputusan Allah itu.

Padahal kata Mak Eep, dokter menyarankan agar dilakukan pengobatan secara intensive karena pembuluh darah di bagian kepala pecah. “Kata dokter di rumah sakit “Hermina” pembuluh darah saya pecah dan perlu pengobatan yang serius,” tuturnya.

Di sebelah tempatnya menghabiskan waktu dan terbaring sakit,   terdapat piring kecil–sebesar tatakan gelas berisi empat potong singkong goreng yang sudah dingin, kemudian ada juga termos air panas dan sisa nasi bekas makan, serta dua gelas kosong. “Tadi pagi ada cucu mengantarkan makanan sarapan. Itu masih ada sisa,” tutur Mak Eep,  dengan suara parau dan terputus-putus sambil mengeluarkan air mata.

Menurut Mak Eep, karena terlalu lama tidur dalam posisi terlentang, punggungnya terasa panas. Saat haus atau ingin buang air kecil dan besar dia harus berteriak, agar siapa saja keluarga yang mendengarkan dapat membantu.

Purnawijaya, Ketua Rukun Tetangga (RT) setempat, mengatakan, keadaan mak Eep sungguh memperihatinkan. “Semoga pihak pemerintah atau siapa saja dermawan dapat membantu meringankan pengobatan mak Eep,” katanya.

Sekitar tiga bulan mengalami sakit, suami Mak Eep-pun mengalami hal serupa. Sang suami yang sakit itu, dibaringkan di salah satu kamar lain,  di rumah anaknya yang berada bersebelahan.

Sejak kedua suami istri itu dalam keadaan sama-sama menderita sakit parah, mereka tak lagi dapat saling berkomunikasi. Beberapa bulan kemudian Allah Maha Kuasa dan suami Mak Eep meninggal dunia, pagi pukul 09.00 WIB.

Kabar duka itu, hanya diketahui Mak Eep, melalui bisikan salah seorang dari keluarga,  bahwa suaminya telah meninggal dunia. Saat mendengar berita itu, air matanya mengalir deras namun tak dapat berbuat banyak.

Atas pertimbangan kejiwaan, pihak keluarga juga tak memperkenankan Mak Eep, untuk melihat jasad suaminya saat dimandikan. Dia juga dibolehkan menyaksikan iring-iringan jenazah suaminya pergi ke tempat peristirahatan terakhir.

Malam setelah penguburan,  Mak Eep, hanya bisa mendengarkan, suara tahlilan oleh para pelayat yang dilakukan oleh para tetangga di tempatnya berbaring–hingga hari ke tujuh. Dia juga tak dapat menyaksikan siapa saja yang datang saat tahlilan itu, hingga di hari ke empat puluh kepergian suaminya.

Kisah pilu tentang Mak Eep, mungkin hanya salah satu terdampak peristiwa tsunami yang melanda sebagian wilayah Provinsi Banten dan Lampung yang diketahui. Atau mungkin juga, ada yang lain….

Untuk diketahui, peristiwa tsunami yang melanda sebagian wilayah perairan Provinsi Banten dan Lampung terjadi pada tanggal 23 Desember 2018, hampir tengah malam. Di wilayah Provinsi Banten, korban terbanyak terdapat di kawasan wisata Labuan hingga Pantai Tanjung Lesung, Kabupaten Pandeglang.

Tercatat sekitar 400 lebih meninggal dunia serta sejumlah orang mengalami luka dan hilang. Dari seluruh korban, terbanyak merupakan sebagai pengunjung wisata yang berlibur menjelang natal dan tahun baru 2019.

Jarak antara peristiwa tsunami di pantai Labuan dan Tanjung Lesung dengan rumah kediaman Mak Eeb di Kota Serang, berkisar 100  kilometer. Ini menggambarkan, bahwa jarak peristiwa yang dikabarkan keluarga melalu telpon seluler tersebut malam itu, cukup jauh dan aman. (Wisnu Bangun)

 


Share this article

Related posts