leonews.co.id
Berita Pilihan

PPDB 2019, Bukan Solusi Perbaikan Layanan Pendidikan

Share this article

Oleh : Wisnu Bangun

 

Dunia pendidikan nasional masih berkutat di seputar ruang kelas yang tak sebanding dengan jumlah calon siswa. Pemerintah sepertinya belum dapat menemukan formulasi tepat, untuk mengatasi calon peserta didik yang terus bertambah dari tahun ke tahun.

Pada setiap tahun ajaran baru soal ruang kelas yang tersedia di sekolah-sekolah negeri di semua tingkatan, sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi problemnya selalu saja sama. Antrian panjang calon siswa yang akan melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi terjadi di semua daerah.

Untuk mengatasi kondisi semrawut pada inprastruktur sektor pendidikan itu, pada tahun ajaran baru 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuat surat edaran yang ditujukan kepada seluruh kepala daerah tingkat satu dan dua  (Gubernur,Bupati/Walikota-Red).

Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2019 itu,  sebagai perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan(Permendikbud)  No 51 Tahun 2018 menjadi Permendikbud No 20 Tahun 2019 tentang peserta didik baru di semua tingkatan,  sejak dari Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi.

Surat edaran pengganti Permendikbud tersebut,  mengatur tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem jalur  zonasi, jalur prestasi dan jalur perpindahan orang tua/wali. Dari tiga jalur itu, jalur zonasi mendapat porsi 90 persen, sedangkan sisanya yakni prestasi dan perpindahan masing-masing mendapat lima persen.

Dari semua jalur tentang PPDB tersebut, tak satupun yang menjadi solusi  perbaikan sebagai cara mudah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Surat edaran tersebut, justru membuat persoalan baru, bahkan lebih parah dari tahun sebelumnya.

Dampak dari surat edaran Kemendikbud tentang PPDB 2019 yang menggunakan jalur zonasi tersebut, tidak saja menyulitkan calon peserta didik tapi juga menjadi sesalan para walimurid. Sejak dimulainya pendaftaran calon siswa dengan sistem online itu persoalan mulai muncul, karena di sejumlah daerah akses sekolah yang dituju tak bisa dibuka.

Sehari setelah berhasil dibuka dan calon siswa mulai mendaftar, persoalan lain muncul lagi tentang pengumuman penerimaan. “Ada gangguan teknis, namun sekarang sudah bisa dibuka kok,” kata salah seorang pejabat di Dinas Pendidkan Provinsi Banten.

Setelah pengumuman sudah dapat diketahui, tentang siapa saja siswa yang diterima dan tak diterima di sekolah-sekolah negeri yang dituju,  peroalan juga belum selesai. Untuk mereka yang sudah diterima mugkin orang tua/wali murid,  hanya tinggal mempersiapkan berbagai keperluan sekolah, seperti sepatu, tas baju seragam yang memang tak disediakan oleh pihak sekolah.

Setelah itu, para orang tua/wali murid juga harus mempersiapkan berbagai keperluan sekolah yang hanya bisa dibeli di sekolah dengan harga yang sudah ditentukan. “Cukup memusingkan,”  kata Hartono, wali murid salah satu sekolah di Provinsi Banten.

Lantas bagaimana dengan para siswa yang tak diterima, karena alas an terbatasnya ruang kelas. Untuk persoalan ini, suka atau tidak suka, pilihan terakhirnya adalah masuk di sekolah swasta dengan biaya yang juga sudah ditentukan oleh pihak sekolah tersebut.

Sebagian orang tua/walimurid,  sebelumnya mendatangi kantor Dinas Pendidikan setempat, untuk menanyakan  prihal anaknya yang tak dapat masuk ke sekolah negeri yang dituju. Di berbagai daerah, pihak Dinas pendidikan dan Kebudayaan pasti  menganjurkan agar anaknya sekolah di swasta saja, karena kuota terbatas akibat ruang kelas tak sebanding dengan jumlah siswa yang akan masuk.

Di wilayah Provinsi Banten umpamanya, sebanyak 124.410 siswa setingkat Sekolah Menengeh Atas (SMA) tak dapat kesempatan masuk sekolah negeri karena keterbatasan ruang kelas. Dari 225 setingkat SMA, dengan kapasitas tampung 27.164 siswa, tak sebanding dengan jumlah kelulusan siswa di bawahnya yang mencapai 40.962 orang.

Kondisi seperti itu, ternyata tidak hanya terjadi di tingkat sekolah lanjutan atas saja. Kepala Bidang SMA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Banten, Rudi Prihadi mengatakan, kekurangan daya tampung di sekolah lanjutan negeri memang tak sebanding dengan jumlah siswa yang lulus.

“Siswa yang tidak tertampung tersebut akan diterima di sekolah swasta ataupun sekolah yang belum mencukupi kuota. Dengan jumlah lulusan yang lebih banyak, makanya ada seleksi masuk ke sekolah negeri, seperti pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang menggunakan tiga jalur yakni jalur zonasi, prestasi dan perpindahan orang tua,” katanya.

Surat edaran kepada setiap kepala daerah tentang PPDB 2019 itu,  juga telah membawa dampak kecewa yang sangat dalam bagi siswa berprestasi. Angan mereka sejak lama agar nanti setelah lulus dapat masuk ke sekolah paforitnya kandas akibat sistem zonasi dari surat edaran tersebut.

Seorang siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Pekalongan, Jawa Tengah umpamanya, telah membakar habis seluruh piagam penghargaan prestasi pendidikan yang diperolehnya, karena gagal masuk di SMP impiannya. “Anak saya selalu masuk dan memiliki ranking di kelasnya,” kata Sugeng Witoto, ayah siswa tersebut.

Menurut Sugeng, mungkin anaknya berpikiran piagam-piagam tersebut, tak bisa membantu dirinya masuk ke SMP Negeri 1 Kajen (sekolah yang diinginkan). Padahal ada 15 piagam,  antara lain lomba menulis halus, cerita islami, tilawah, azan, nyanyi solo, nyanyi grup, dan dokter kecil semuanya dibakar, karena kecewa.

Kekecewaan layanan pendidikan tidak hanya dirasakan oleh keluarga Sugeng, tapi juga Nyonya Rumini, di Provinsi Lampung. Dia menyebutkan, PPDB 2019, ternyata bukan  solusi perbaikan layanan pendidikan.

Menurut Sutini, Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kemendikbud, perlu melakukan koordinasi secara mendalam dengan pemerintah daerah sebelum membuat peraturan. “Hal ini dimaksudkan agar keputusan tersebut,  tidak menimbulkan persoalan saat keputusan itu dijalankan di daerah,” katanya.

Dia mencontohkan tentang rencana presiden akan memindahkan Ibukota Negara RI ke daerah lain, di luar Jakarta. “Dalam rencana pemindahan tersebut, presiden memanggil dulu seluruh Kepala Daerah termasuk sejumlah menteri, untuk mendengarkan pendapat dan berbagai hal yang berkaitan dengan rencana tersebut, sebelum menjadi keputusan,” tuturnya.

Sementara Gubernur Banten Wahidin Halim kendati harus mematuhi surat edaran Kemendagri itu, namun akhirnya juga tetap mengkeritik PPDB 2019 sistem zonasi tersebut. Dia menilai, sistem zonasi tersebut  tidak menciptakan keadilan.

“Sebab, ada warga miskin tapi punya potensi dan cerdas namun terbentur jarak. Jangan bikin putus asa orang yang punya nilai bagus, orang miskin yang mengejar prestasi itu harus kita akomodir,” tuturnya.

Problem jumlah ruang kelas pada sekolah  negeri, selalu saja tak sebanding dengan calon siswa yang  akan masuk. Dalam hal ini, pemerintah selalu saja gagal, membuat formulasi tentang daya tampung siswa di setiap tahun ajaran baru.

Darmawan Hadiguna, salah seorang pemerhati dunia pendidikan, problem dunia pendidikan nasional tidak hanya pada keterbatasan ruang kelas yang tak sebanding dengan jumlah calon siswa. Tapi juga tentang lainnya, yang berkaitan dengan kualitas hasil ajar yang diterima para siswa setelah menyelesaikan pendidikan.

Dia menyebutkan, upaya pemerintah membuat sekolah kejuruan seperti SMK dengan tujuan untuk menciptakan tenaga ahli di bidangnya, masih tak sebanding dengan lamanya waktu belajar yang ditempuh. Dia mencontohkan, antrian terpanjang dalam mencari kerja di berbagai perusahaan industry di daerah di dominasi oleh siswa lulusan SMK yang belum siap kerja, karena ilmu yang dimiliki belum mumpuni.

Mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Hudaya Latuconsina menyebutkan, sebaiknya setiap kepala sekolah segera berbenah melakukan perbaikan kualitas pendidikan yang diajarkan. “Hal ini harus segera dilakukan, sebelum para walimurid menuntut pihak sekolah tentang hasil didik anak mereka yang tak dapat digunakan dalam dunia kerja, untuk menenuhi hajat hidupnya,” tegas Laki-laki berdarah Ambon itu, dalam suatu pertemuan dengan para kepala sekolah se-Banten.

Dia menyebutkan, setiap orang tua/wali murid pasti menunggu hasil atas biaya yang mereka keluarkan untuk  pendidkan anak-anaknya. “Bisa jadi mereka juga lelah, dengan waktu yang begitu lama dan biaya yang tidak sedikit untuk pendidikan tersebut,” katanya. ( )

 

 

 

 


Share this article

Related posts