SERANG (leonews.co.id) – Sore Senin 11 September, adalah kali kedua saya masuk ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banten.
Peristiwa ini terjadi pada saat saya masih menjalani masa observasi untuk waktu 40 hari, guna dilakukan tindakan berikutnya setelah tindakan dan rawat inap delapan hari pertama.
Ahli jantung RSUD Banten, dr Nurnajmia Curie P.Sp.JP yang menangani saya kala itu, secara khusus sejak awal menyarankan agar saya banyak istirahat, demi pemulihan.
Dokter cantik ini tidak sendiri tapi juga ada sejumlah dokter lain yang juga ikut menangani, diantaranya ada dr Stephanie Citra Sari Yosvara dan dr Ika Yasma Yanti, Sp.PK. serta belasan perawat dengan tugas bergantian.
Awal Peristiwa
Ini terjadi saat menjelang magrib, bersamaan dengan hari Hepatitis Sedunia atau tepatnya Jumat, 28 Juli 2023.
Saat itu, saya baru saja pulang berobat dari Klinik layanan 24 jam akibat merasakan sakit pada bagian ulu hati.
Seperti biasa atau setidaknya seperti keluhan sebelumnya obat yang saya terima dari dokter di klinik 24 jam tersebut, kurang lebih juga sama.
Diantaranya ada obat lambung dalam bentuk tablet, serta diberikan suntikan vitamin Neorobion.
Sepulang dari klinik 24 jam, saya kembali merasakan rasa sakit di ulu hati.
Bahkan rasa sakitnya terasa lebih parah dari sebelumnya.
Sakit ulu hati yang biasanya hanya terjadi di bawah atau antara dua belah dada bagian bawah (kiri-kanan) sudah merambah ke seluruh bagian lainnya.
Rasanya betul-betul sakit luar biasa. Tidak hanya di ulu hati, bahkan sakitnya hingga menyerang dada namun belum sampai terasa hingga punggung. Kondisi seperti rasa terbakar itu, dalam banyak kasus bisa tembus hingga ke punggung.
Para medis menyebut, nyeri di ulu hati yang menjalar hingga ke dada bisa terjadi akibat banyak sebab.
Bisa disebabkan karena GERD (gastroesophageal reflux disease) Gastritis (radang mukosa lambung) Tukak lambung, tukak duodenum dan serangan jantung serta penyebab lainnya.
Saya berguling-guling di tempat tidur menahan rasa sakit dan tak tau harus berbuat apa, hingga akhirnya tak sadarkan diri.
Keluarga yang mendampingi kala itu, mengaku berusaha memberikan pertolongan dan mengguncang-guncang tubuh saya yang sudah semakin lemas dan mulai membiru.
Keluarga juga mengaku berteriak-teriak sambil menangis minta tolong namun tidak ada yang datang.
Mungkin para tetangga tidak mendengarkan teriakan minta tolong tersebut, karena tertutup suara salawatan speker di mushollah sebab bersamaan dengan waktu menjelang sholat magrib.
Keluarga menyebutkan, tidak tau persis berapa lama masa paling kritis itu terjadi hingga akhirnya sejumlah tetangga berdatangan memenuhi ruangan kamar tidur saya untuk memberikan pertolongan.
Bahkan ada yang naik ke atas tempat tidur untuk memberikan pertolongan dengan caranya masing-masing.
Diantara tetangga yang datang, terdapat salah seorang anggota polisi.
Sepertinya polisi muda yang memberikan pertolongan ini, memiliki keahlian dalam terapi totok urat syaraf. Karena berkat pijatannya saya kembali sadar.
“Bapak terdengar sudah sempat ngorok,” polisi muda itu menceritakan kepada saya, beberapa hari setelah peristiwa terjadi.
Sejumlah ahli kesehatan menyebutkan, bahwa penurunan kesadaran seperti yang saya alami saat itu, merupakan salah satu kegawatdaruratan.
Kasus seperti itu, harus mendapat penanganan segera, karena bisa beresiko pada kematian.
Biasanya dalam kasus seperti yang saya alami itu, ahli kesehatan akan menyarankan agar yang bersangkutan segera dirujuk ke Instalasi Gawat arurat (IGD) Rumah Sakit terdekat sebelum ajal.
Hari beranjak malam, sebagian tetangga yang ikut membantu pemulihan rasa sakit saya tadi, sudah Kembali ke rumahnya masing-masing.
Sementara saya dan keluarga masih berpikir tentang upaya yang akan dilakukan berikutnya.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba pintu rumah ada yang mengetuk. Assalammualaikum.
Waalaikumsalam jawab kami dari dalam.
Rupanya ada tetangga lain yang datang menjenguk belakangan.
Dia adalah Ruhijat, mantan Kepala Desa Silebu, Kecamatan Keragilan Kabupaten Serang-Banten.
Ruhijat datang Bersama anak sulungnya Iftikar (Ifti). Mereka berdua duduk di sisi saya yang masih terbaring.
Ruhijat seperti merenung, sambil memijat pelan satu lengan saya. “Ke rumah sakit aja yuk… pak,”kata Njat panggilan mantan Kepala Desa itu menawarkan.
“Hayyu,” saya langsung mengiyakan tawaran itu, tanpa pikir Panjang.
Padahal pada waktu sebelumnya, ada tetangga lain juga menawarkan hal yang sama, namun saya tolak dengan mengatakan “nanti saja”.
Saat menuju rumah sakit, saya duduk di bangku barisan depan di samping Iftikar yang mengemudi mobil.
Sedangkan Ruhijat dan keluarga saya duduk di bangku di bagian Tengah, ditambah oleh seorang teman lainnya duduk di bangku barisan paling belakang.
Jarak antara Rumah Sakit dengan rumah saya tidak terlalu jauh, sekitar 3 kilo meter.
Sesampai di areal parkir rumah sakit, saya turun dari mobil dan berjalan kaki (tanpa ditandu) menuju ruang IGD.
Jumat 28 Juli 2023 malam itu, saya langsung mendapat penanganan oleh tim medis.
Pemeriksaan dilakukan dari mulai tentang tekanan darah, denyut nadi, rekam jantung dan rontgen dada (thoraks).
Rontgen dada atau juga pemeriksaan dengan menggunakan radiasi gelombang elektromagnetik adalah untuk menampilkan gambaran bagian dalam dada.
Melalui pemeriksaan ini, dokter yang menangani dapat melihat gambaran jantung, paru-paru, saluran pernapasan, pembuluh darah termasuk nodus limfa.
Biasanya, jenis rontgen ini dilakukan untuk menemukan masalah dalam dada.
Umpamanya tentang mendeteksi adanya kanker, infeksi, ataupun pengumpulan udara di ruang sekitar paru-paru (pneumothorax).
Setelah melalui berbagai peroses diagnose selanjutnya anggota tim medis memasang peralatan untuk membantu pernapasan yang terhubung ke tabung oxygen dan alat monitor, termasuk selang infus yang ditusukan ke punggung tangan.
Akibat berbagai selang medis itu, gerakan tubuh saya berbaring juga menjadi tidak leluasa kecuali hanya menengadah menghadap langit-langit ruangan rumah sakit.
Karena kondisinya dianggap serius, malam itu saya ditetapkan harus dirawat di Ruang ICU (intensive care unit).
Seperti diketahui bahwa ruangan khusus ini, disediakan pihak rumah sakit sebagai tempat untuk merawat pasien dengan kondisi yang membutuhkan pengawasan ketat.
Seluruh keluarga besar anak dan istri saya Netty Herawati Julia dari Tangerang menyaksikan.
Detak jantung saya yang terekam melalui EKG (elektrokardiogram) dikabarkan bermasalah.
Mungkin berdasarkan data ini pula yang kemudian ditafsirkan oleh dokter ahli jantung agar saya mendapat penanganan khusus.
Dari layar monitor saya lihat bahwa denyut jantungnya tidak sampai seratus (100) hanya 95-97.
Salah seorang Perawat di rumah sakit mengatakan, nanti bila denyut jantungnya sudah sampai angka 100 di layar monitor, maka selang yang terpasang ke oxigen akan dibuka karena menandakan sudah membaik.
Saya berada di ruang ICU selama enam hari. Saat itu saya bukan saja berada di ruang dan gerak yang terbatas, tapi juga harus melewati waktu yang melelahkan.
Selang infus dan selang oxygen yang terhubung ke layar monitor dari lubang pernapasan mengharuskan saya tak bisa bergerak bebas.
Bisa kebayang, bagaimana bila sedang merasakan lapar dan haus.
Belum lagi bila ingin buang air kecil dan buang air besar (BAB) yang terkadang juga datang secara tiba-tiba.
Selama enam hari di ruang ICU, rasanya terlalu banyak peristiwa pilu yang yang saya saksikan dari kondisi pasien dalam satu ruangan.
Karena selama di ruangan itu suka atau tidak suka saya harus selalu mendengarkan rintihan dari banyak pasien yang sedang menahan rasa sakit sepanjang waktu.
Belum lagi secara tiba-tiba ada jeritan histeris dari pihak keluarga pasien, karena orang yang mereka tunggui tak berhasil ditolong dan meninggal dunia.
Selama enam hari di ruang ICU, setidaknya pihak keluarga saya mencatat ada 23 orang meninggal dunia dengan berbagai kasus penyakit yang mereka derita.
Setelah melalui masa kritis selama enam hari di ruang ICU, pada hari keenam (malam hari) saya dipindahkan ke ruang rawat inap umum untuk menjalani masa observasi pertama selama dua malam.
Setelah itu dilanjutkan masa observasi kedua selama 10 hari sambil minum obat di rumah.
Tahapberikutnya dilakukan control ketiga masih oleh dokter dr Nurnajmia Curie, temasuk pengambilan obat untuk waktu 3o hari ke depan.
Dirawat Kedua
Hampir 40 hari saya lalui masa observasi di rumah dalam kondisi baik-baik saja tanpa ada keluhan berarti.
Saya juga sempat pulang ke rumah di Tangerang selama hamper 10 hari melalui masa observasi.
Selanjutnya Kembali ke Serang untuk memenuhi jadwal control berikutnya.
Rutinitas mengkonsumsi obat saya lakukan secara normal, termasuk kegiatan menyiram bunga dan sejumlah aktivitas ringan lainnya.
Sekitar pukul 11 siang, salah seorang staf di Surat Kabar (SK) Gerbang Banten tempat saya bekerja mengabarkan bahwa hari itu ada deadline dan saya harus hadir.
Hari itu saya sudah hamper menyelesaikan satu artikel sebagai laporan utama bagi surat kabar yang saya pimpin.
Namun tiba-tiba saja pandangan mata terasa berkunang-kunang dan langsung gelap.
Kepada Yudian, sahabat saya di kantor, saya bilang “kok pandangan mata saya gelap yaa?”.
Melihat kondisi itu, Yudian memapah saya duduk di sofa kantor.
Sesaat kemudian setelah beristirahat, pandangan saya terasa mulai kembali membaik.
Saat itu Pimpinan Umum Gerbang Banten Lesman Bangun dan Yudian berusaha membantu mengatasi situasi sebisa yang bisa mereka lakukan.
Merasa sudah agak stabil, artikel laporan utama yang hamper jadi tadi saya selesaikan agar bisa dipasang untuk diterbitkan besok pagi.
Untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan terjadi, setelah menyelesaikan tugas mengerjakan artikel saya minta diantar ke Rumah Sakit.
Bersama Lesman Bangun dan Yudian, saya Kembali ke Rumah Sakit untuk melakukan rawat inap ke dua.
Peroses penanganan kurang lebih sama dengan saat penanganan pertama.
Yakni diantaranya dilakukan pemeriksaan darah, rekam jantung, infus dan rongent jantung, serta pemeriksaan denyut nadi.
Pada rawatan kedua ini dilakukan selama empat hari, namun tidak sampai masuk ruang ICU.
Saat artikel ini dibuat kondisi saya sudah membaik, Insya allah terus membaik. Diingatkan kepada teman-teman bahwa sehat itu enak dan teruslah menjaganya. ***